enulis adalah hal yang  menyenangkan bagi mereka yang menyukainya. Hal ini berlaku pula bagi Ardi Wina Saputra, penulis dan juga alumni UM yang tengah naik daun ini. Aloer-Aloer Merah nama yang unik tapi penuh makna menjadi judul kumpulan cerpen yang ditulis oleh purna anggota Komunikasi ini. Antologi Ardi ini berhasil menginspirasi banyak pembaca.
Dalam bedah buku yang diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Penulis (UKMP) pada Rabu (19/04), bertempat di Aula UKM lantai 2 kompleks Gedung C3 UM, ini membahas mengenai antalogi cerpen Aloer-Aloer Merah. Acara yang dimulai pukul 18.00 WIB ini diikuti oleh peserta yang mayoritas dari mahasiswa UM. Acara dibuka oleh moderator Asrofi Al-Kindi dan selanjutya diteruskan oleh pembedah buku, Teguh Dewangga.
Aloer-Aloer Merah adalah sebuah cerpen yang ditulis Ardi berdasarkan sejarah kehidupannya. Tokoh yang diambil dari cerpen ini 75% adalah tokoh nyata. “Jadi ketika saya mengalami sebuah depresi atau kehancuran sama seseorang, namanya langsung saya tulis dengan setting sejarah,” tutur Ardi. Filosofi nama Aloer-Aloer Merah diambil Ardi saat sedang melakukan wawancara kepada seorang ketua warga di desanya. Dahulu kala di bawah jembatan desanya, ada tanaman yang bernama aloer-aloer atau sayuran kubis putih yang ditanam di pinggir kali. Pada saat wawancara tersebut, Ardi sedang mengalami konflik batin yang begitu dalam dengan seseorang. Dia membayangkan jika aloer-aloer atau sayuran kubis tersebut disirati dengan menggunakan darah. Jadi aloer-aloer merah ini adalah sup kubis yang disirati dengan darah dan pasti rasanya akan enak. Juri di sebuah kompetisi penulisan pun ternyata lebih suka cerpen yang seperti itu, sehingga cerpen ini berhasil menjadi finalis di kompetisi kancah lokal maupun nasional.
Dari beberapa cerpen yang dituangkan dalam buku tersebut, ada salah satu cerpen yang sangat menggelitik, yaitu cerpen yang berjudul Lelaki yang Berdiri Menatap Bianglala, cerpen ini dibuat ketika Ardi sedang merasa sakit hati karena sosok orang yang dicintainya telah menjadi milik orang lain. Untuk menghibur lara hati, Ardi mengajak teman-temannya pergi ke Alun-Alun Batu. Sesampainya di sana, Ardi kembali ingat sosok perempuan yang dicintainya, tetapi dia hanya bisa melamun sembari menatap bianglala. Akhirnya Ardi terinspirasi untuk menjadikannya sebuah cerpen.
Kendala-kendala yang dialami penulis saat membuat cerpen ini adalah jadwal.Karena rutinitas mengajar, sehingga waktu untuk menulis mau tidak mau harus berkurang. Cerpen ini dibuat mulai tahun 2013 sampai tahun 2017. Penulis tidak mau terburu-buru dalam membuat cerpen ini karena banyak hal yang harus dipertimbangkan agar sesuai dengan yang diharapkan.
Proses pencetakan cerpen ini sudah direncanakan sejak Oktober tahun lalu dan baru terealisasikan pada April 2017. Cerpen tersebut dimuat media serta dapat meraih juara di Lomba Sayembara Cerpen Nasional.  “Agar penulis-penulis muda lebih kreatif lagi dalam mengaktualisasikan karyanya, terus dalam mengungkapkan hasrat. Jadi biar dalam menghadapi sesuatu tidak terjebak dalam hal yang tidak-tidak,” pesan Ardi yang menjadi penutup acara bedah buku kali ini.Dessy