Card 2

oleh Windy Agustin Alicia Putri

Judul    : Teach Like Finland, Mengajar Seperti Finlandia
Penulis    : Timothy D. Walker
Cetakan    : Juli, 2017
Penerbit    : PT Gramedia

Berbicara soal pendidikan terbaik di dunia, salah satu negara yang pasti terlintas adalah Finlandia. Fakta menyatakan bahwa siswa-siswi Finlandia mampu mencetak skor tertinggi pada PISA (Programme for International Student Assessment) yang menguji kemampuan membaca, matematika, dan sains. Hal ini cukup mengejutkan dunia sebab jam pelajaran di sekolah-sekolah Finlandia relatif pendek dan siswanya tidak mendapat banyak PR. Lalu bagaimana bisa pendidikan Finlandia menempati posisi pertama kualitas pendidikan di dunia? Ya, buku Teach Like Finland ini lahir untuk memberikan jawaban.
Buku setebal 190 halaman ini ditulis oleh Timothy D. Walker, seorang pengajar asal Amerika yang merasa kepayahan dengan sistem pendidikan negaranya setelah mengajar selama tiga tahun. Penulis memutuskan bermigrasi ke Finlandia dan mengajar di sana untuk menelisik bagaimana sistem pendidikan terbaik dunia bekerja. Buku ini memuat rahasia kesuksesan pendidikan Finlandia berdasarkan pengamatan penulis. Terbagi ke dalam lima bab, total terdapat 33 rahasia mengajar yang menyenangkan.
Strategi-strategi pengajaran Finlandia yang dituliskan penulis sebenarnya sederhana, namun fokus pada esensi pembelajaran. Segala kebijakan yang diterapkan pendidikan Finlandia memiliki  tujuan khusus yang memang diperlukan. Seperti kebijakan istirahat lima menit setiap satu jam pelajaran—yang mungkin terkesan tidak efisien bagi pendidikan di negara lain—adalah suatu hal yang perlu untuk membuat siswa tetap fokus di kelas. Otak manusia perlu diberi jeda agar dapat bekerja lebih baik. Seperti yang dikemukakan Daniel Lavitin (profesor psikologi) bahwa dengan memberikan waktu beristirahat yang teratur untuk otak, produktivitas dan kreativitas akan lebih besar.
Tubuh juga memerlukan waktu istirahat untuk mengisi kembali tenaga. Sebagaimana guru-guru Finlandia yang meninggalkan pekerjaan mereka ketika waktu mengajar telah berakhir. Pemahaman akan pentingnya energi inilah yang kemudian mendorong mereka untuk tidak membebani siswa dengan pekerjaan rumah. Guru tersebut tahu betul bahwa pembelajaran yang efektif lebih fokus pada kesejahteraan dan kebahagiaan yang meliputi kondisi fisik serta mental guru dan siswa.
Proses pembelajaran di Finlandia berorientasi pada keperluan siswa, bukan memenuhi kurikulum semata. Guru-guru Finlandia tidak terkengkang dengan kurikulum yang ada dan cenderung mengembangkan sendiri proses pengajaran sesuai kebutuhan. Sekolah-sekolah di Finlandia memiliki budaya yang melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan. Tidak saja soal pembelajaran, tetapi juga soal nilai akademik. Biasanya sebelum membagikan rapor di kelas, guru akan mengomunikasikan nilai yang didapatkan siswa secara pribadi dan siswa berhak memberikan tanggapan. Praktik ini selain dapat membangun ikatan yang baik antara pengajar dan siswa, juga sebagai sarana agar siswa dapat merefleksikan pembelajaran mereka.
Penulis juga memberikan contoh untuk diimplementasikan langsung di kelas. Penulis menyebutkan kelemahan serta kelebihan desain pembelajaran yang ia sarankan sehingga pembaca—pengajar— memiliki gambaran terkait apa-apa yang akan dihadapi ketika menerapkan hal tersebut di dalam kelas. Dalam mengungkapkan pendapatnya, penulis seringkali menyertakan pernyataan-pernyataan ahli dari berbagai literatur penelitian yang menunjang keakurasian gagasan.
Prinsip guru-guru Finlandia ialah menghargai kebahagiaan di atas pencapaian. Kebahagiaan bukan hasil kesuksesan, namun kunci meraih kesuksesan. Untuk itu, proses belajar mengajar di sekolah Finlandia dibuat semenyenangkan mungkin bagi para guru dan siswa. Finlandia seolah mengajarkan pada dunia bahwa ada cara lain menjalankan lembaga pendidikan, tanpa menambah beban guru dan siswa melalui kurikulum yang ketat. Tanpa jam belajar yang terlalu lama dengan setumpuk PR pun anak-anak dapat memiliki kemampuan yang mengagumkan. Namun, mengutip kata pengantar di awal isi buku, pendidikan layaknya pepohonan  yang tumbuh baik hanya di tanah dan iklimnya sendiri. Tidak semua strategi pembelajaran yang berhasil diterapkan di negara Nordic tersebut akan membawa hasil yang serupa jika diaplikasikan di negara lain, termasuk Indonesia. Dengan 33 strategi pengajaran dalam buku ini, patut dijadikan referensi tapi tidak bisa diadopsi mentah-mentah sebab setiap negara memiliki budaya dan karakteristiknya masing-masing. Akhirnya, tetap saja buku ini direkomendasikan untuk pengajar atau calon pengajar agar memberikan suatu wawasan terkait prioritas kebahagiaan di kelas guna mengoptimalkan pembelajaran.
Penulis adalah mahasiswa S-1 Matematika UM dan Juara I Pustaka Kompetisi Majalah Komunikasi UM 2017