oleh Zahro Rokhmawati

Judul Buku    : Rakai Langit
Penulis    : Teguh Dewangga
Penerbit    : Bentara Pustaka
Cetakan    : Juni 2017
Tebal    : 111 halaman

Arakaipa yang lebih membuat penasaran selain membaca suatu cerita-cerita karya sastra? Belum lagi dengan bahasa imajinya yang sukses menggiring pembacanya terbuai dalam alur cerita? Itulah yang kita rasakan ketika membaca sebuah karya sastra, lebih khusus ketika membaca cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen Rakai Langit. Penulis kumpulan cerpen Rakai Langit ialah mahasiswa Universitas Negeri Malang, Teguh Dewangga.


Sepuluh cerpen dalam kumpulan cerpen Rakai Langit ini merupakan cerpen-cerpen yang telah meraih berbagai kejuaraan penulisan cerpen. Puncaknya kumcer (baca: kumpulan cerpen) ini telah meraih medali emas dalam ajang bergengsi Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) 2017. Rakai Langit ini memang tidak bisa kita anggap remeh. Kumcer ini mempunyai inovasi baru untuk para pembaca masa kini yang sudah mulai meninggalkan buku bacaan. Dengan berbasis Augmented Reality, Rakai Langit menyuguhkan ilustrasi animasi berbentuk audio visual yang ada di dalamnya. Caranya dengan memindai ilustrasi yang ada di kumcer Rakai langit dengan gawai yang telah terinstal aplikasi Rakai Langit di play store. Tak heran ketika membaca cerpen-cerpen ini pembaca akan dibuai oleh cerita imaji yang apik dan kekinian.
Dengan mengangkat tema kearifan lokal, cerpen-cerpen Teguh ini membuka mata para pembaca akan kejadian yang ada di sekitar kita. Pada cerpen pertama yang berjudul Lidah Ungu Bercabang Dua yang Membuat Mereka menjadi Cangkang Abu, bercerita tentang sebuah makam keramat yang ada di sebuah tanjung. Terdapat banyak kepiting-kepiting bercangkang hijau yang memenuhi masjid dan makam yang ada di tanjung tersebut. Makam tersebut banyak didatangi untuk berziarah oleh orang-orang yang percaya akan suatu hal mistis. Seorang tokoh agama bernama Kyai Mustafa digambarkan memiliki lidah ungu yang bercabang dua. Ia adalah kyai yang biasa berkhotbah di tanjung itu yang akhirnya membakar makam keramat dan masjid di tanjung tersebut.
Cerpen-cerpen yang disajikan dalam kumcer yang juga memenangkan medali perak dari kategori poster dalam Pimnas 2017 ini mempunyai jalan cerita yang khas. Secara implisit, banyak makna yang terkandung dalam setiap cerpennya. Tragedi-tragedi sosial tentang nilai religiusitas yang menimbulkan elegi ini menjadi beberapa cerita yang menggugah selera pembaca.
Pada empat cerpen dalam kumcer ini, yaitu Lelaki Kencana yang Hilang Sebelum Berkhotbah pada Malam yang Ganjil, Lelaki Kencana yang Menguburkan Jenazah Pendukung Penista Agama, Petunjuk Syekh Narwastu tentang Mengawali dan Mengakhiri Bulan Ramadhan, dan Lidah Ungu Bercabang Dua yang Membuat Mereka menjadi Cangkang Abu memiliki kemiripan unsur cerita dari segi nama tokoh, latar, dan hubungan nilai religiusitas. Hal ini menjadi menarik karena hampir ada keterkaitan antara empat cerpen tersebut.
Dalam cerpen yang juga menjadi judul buku ini, yaitu Rakai Langit dan Gadis Kepiting serta Rahasia Lubang-lubang di Tengah Bakau mengisahkan elegi rasa cinta yang tak biasa. Dengan latar cerita di hutan bakau, cerpen ini menceritakan kisah anak muda bernama Rakai Langit yang terjebak oleh gadis kepiting misterius. Dari cerpen ini memang tampak upaya penulis menampilkan cerita yang logis dan adanya campuran cerita fantasi. Namun hal itu terkesan memaksa isi cerita.
Berbeda dengan cerpen Bentara Bumi Direngkuh Retis Hujan Wonopotro yang tampak lebih menarik dari segi pemilihan tokohnya. Tokoh utama dari cerpen ini yakni sebuah pohon bunga sepatu sebagai aku dan Bentara Bumi seorang anak laki-laki yang mempunyai pohon bunga sepatu tersebut. Teguh ingin menampilkan tokoh yang tidak biasa, yakni dari sudut pandang tumbuhan yang mengetahui Bentara Bumi sejak kecil hingga akhirnya tewas mengenaskan karena dibunuh.
Ciri khas lain yang dibuat Teguh untuk cerpen-cerpennya selain dengan menyuguhkan kata-kata metafora yang menawan yakni dengan pemilihan judul yang panjang. Judul panjang yang dibuat sekitar 6-14 kata. Hal ini memang bisa menarik perhatian pembaca. Namun, ada beberapa judul yang terkesan memaksa padu dan sedikit tidak selaras dengan isi utama cerita.
Terlebih dari itu semua, Rakai Langit mampu membuai para pembacanya dan dibuatnya penasaran akan kisah-kisah elegi yang disajikan. Tak banyak kumpulan cerpen yang menyajikan tambahan ilustrasi yang menawan pada tiap-tiap ceritanya. Selain itu, Rakai Langit hadir menjawab kegelisahan akan turunnya minat baca masyarakat saat ini.
Selamat membaca dan dibuai imaji oleh Rakai Langit!
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Sastra Indonesia dan Juara III Kompetisi Penulisan Pustaka Majalah Komunikasi UM Tahun 2017