oleh Ade Setyawan Pratama

Di era globalisasi, perkembangan teknologi begitu pesat dan banyak mempengaruhi pola hidup berbangsa dan bernegara. Globalisasi pada hakikatnya  telah membawa nuansa budaya dan nilai yang mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Melalui media yang kian terbuka dan terjangkau, masyarakat dapat mengirim atau menerima berbagai informasi dari dan ke seluruh penjuru dunia. Hingga saat ini pengguna internet di Indonesia mencapai 63 juta orang, dengan sekitar 95% di antaranya untuk mengakses jejaring sosial. Selain Youtube dan Vlog, media sosial yang sangat populer di Indonesia adalah Facebook dengan total 65 juta pengguna, Twitter dengan 19,5 juta pengguna, Line dengan 10 juta orang, serta WhatsApp yang jumlah pengguna aktifnya di dunia sudah mencapai satu milyar orang.

asdas
Lantas bagaimana bagi negara berkembang seperti Indonesia menyikapi fenomena transformasi media terhadap perilaku masyarakat dan budaya? Bukankah globalisasi dengan segala nilai yang dibawanya melalui internet sedikit banyak akan berdampak pada kehidupan masyarakat? Ya. Beragam penggunaan media sosial yang semakin meningkat pesat tersebut berdampak positif sekaligus negatif, ibarat dua sisi mata uang, bagi interaksi kehidupan sosial budaya masyarakat di era globalisasi ini.
Secara positif, komunikasi dan interaksi antar-individu menjadi semakin mudah, efektif, dan cepat. Namun sisi negatif lain mengemuka. Kemajuan teknologi komunikasi informasi telah memunculkan fenomena hoax, yaitu ketidakakuratan berita, data, dan fakta bahkan beredarnya ujaran kebencian. Kesengajaan penyebaran kabar hoax bahkan digunakan untuk keuntungan dan kepentingan kelompok  tertentu, mengadu domba antar-umat beragama, memecah-belah kesatuan bangsa, serta mengancam keutuhan NKRI.
Hoax
Hoax adalah mengelabui agar orang percaya atau menerima sesuatu kebohongan. Kebohongan yang seringkali bertentangan dengan fakta atau akal sehat. Mengutip Wikipedia, pertama kali hoax tercatat dalam sejarah adalah pada tahun 1661. Di Indonesia dengan kemajuan teknologi informasi, hoax juga menjadi pesoalan yang membutuhkan perhatian serius. Berdasarkan catatan hasil survei tentang wabah hoax secara nasional pada tahun 2017 oleh mastel.id menunjukkan bahwa jenis kabar hoax yang diterima oleh responden survei adalah terkait Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA) sebesar 88,60%. Begitu pula dengan saluran penyebaran berita hoax tertinggi disalurkan melalui media sosial sebesar 92,40%.
Padahal secara konstitusi, pemanfaatan teknologi informasi telah diatur sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 UU RI No.11 tahun 2008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan: mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia; mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat; meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi. Kelima tujuan mulia ini hanya bisa dicapai jika seseorang melek terhadap informasi.
Berkaitan dengan strategi melawan hoax, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan. Pertama, menjelaskan hoax melalui media sosial. Banyak berita hoax disebarkan melalui media sosial sehingga perlu dilawan dengan cara yang sama, seperti memberikan penjelasan melalui komentar jika menemukan berita hoax. Dapat pula dilakukan dengan membuat status untuk menjelaskan informasi hoax tersebut. Kedua, aktif melaporkan penyebar berita hoax kepada aparat atau juga dapat melapor pada situs melawan hoax yang dibuat pemerintah, yaitu trustpositif.kominfo.go.id atau melalui email Kementerian Komunikasi dan Informasi aduankonten@mail.kominfo.go.id sehingga dapat dilakukan pencegahan sejak dini. Pelapor perlu menunjukkan foto, screenshoot, atau bukti lain sehingga aparat tidak ragu-ragu melakukan penindakan. Ketiga, aktif melaporkan konten hoax kepada server atau owner media sosial dan media mainstream. Berdasarkan laporan itu, pihak yang server tentu akan bertindak, seperti memberikan teguran dan bahkan memblokir akun tersebut.
Literasi Media
Cara lain yang dapat dilakukan guna mencegah maraknya informasi hoax adalah melalui literasi media. Penelitian Wiratmo (2011) memotret pengalaman gerakan literasi media yang yang dilakukan Lembaga Studi Pers dan Informasi (LESPI) Semarang terhadap beberapa komunitas. Mengandalkan posisi strategis komunitas sebagai ujung tombak penyebarluasan isu literasi media, Wiratmo menggunakan definisi literasi media oleh Sonia Livingstone (2004), yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan membuat pesan dalam berbagai konteks.
Literasi media melingkupi kecakapan dalam berinteraksi dengan media internet, HP, dan game. Paling tidak ada lima fokus dalam literasi media, yaitu peningkatan kecakapan individu dalam menggunakan media, pemahaman yang baik atas realita yang sesungguhnya, literasi media sebagai sebuah upaya pembelajaran yang merujuk pada cara informasi dikemas, literasi media berfokus pada pemahaman kritis atas apa yang disampaikan oleh media, literasi media pada level makro untuk pemberdayaan masyarakat.
Urgensi literasi media di era kekinian disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu  pengguna media sosial membutuhkan ketrampilan berpikir kritis, mengekspresikan diri dan berpartisipasi dalam media sosial, konsumsi media sosial memerlukan panduan aman dalam menyikapinya, dan media sosial akan mempengaruhi cara kita mempersepsi sesuatu. Secara mendasar terdapat beberapa strategi kegiatan literasi media. Pertama, mewujudkan kerjasama kelembagaan untuk bersama menjalankan literasi media yang bisa mendorong pengguna media sosial berpastisipasi aktif dan berpikir kritis. Kedua, adanya kemauan dan kesiapan atau koordinasi yang baik antarlembaga-lembaga yang bergerak dalam literasi media.
Kegiatan literasi media seharusnya menjadikan individu pengguna media sosial memiliki nilai-nilai tertentu sehingga dapat membedakan mana kabar/konten yang dipandang baik dan buruk. Banyaknya berita bohong yang bermunculan ini sekali lagi harus menjadi perhatian serius yang dihadapi bangsa ini. Hoax harus dilawan agar dampak negatifnya dapat diminimalisasi. Semua pihak harus aktif berperang melawan derasnya informasi hoax. Jika bukan generasi muda sebagai agen perubahan negeri ini yang menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai dampak dari maraknya kabar hoax dan ujaran kebencian, lalu siapa lagi? Menjaga keutuhan NKRI bukan hanya tugas TNI atau Polri saja, tapi semua warga negara Indonesia. Jika di lingkungan keluarga, RT/RW, dan komunitas kita sudah berusaha melawan hoax, maka dengan sendirinya akan memperkuat keutuhan bangsa dalam merawat kebhinekaan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu meridai segala usaha dan membimbing kita semua. Jayalah Indonesiaku!
Penulis adalah mahasiswa S-1 Jurusan Ekonomi Pembangunan.