oleh : Amalia Safitri Hidayati

Lembayung menjalar ke ubun-ubun hingga pijak kakimu
Genderang perang masih menggaung,
Mencatat setiap koyak menganga
Lantas jenderal agung hanyalah rapalan di ingatan
Dalam diktat,
yang bersisa, melindap, mengendap di tanah kenangan

Tonikum

Anyir darah dan kematian membaur ke bilik-bilik ketiak
Mengendus pada tulang punggung bernama pemuda.
Kemana sang empunya?
Ketika laga atas nama budaya bersilang sengketa
Depa-depa tanah saksi petumpahan darah
Menunggangi kawanan, memedang puak-puak gejolak,
Mengibaskobarkan dusta, menolak tunduk pada merdeka

Kitalah matahari negara,
yang setia menekuri musim penumpas culas dan beringas
Senantiasa mereguk tonikum darah penghabisan
Memulangkan dahaga pada darah Gajahmada,
Darah Diponegoro, darah Mpu Nala,
Darah Soekarno Hatta, serta ceceran darah gerilya

Kitalah matahari negara,
yang memancarbiaskan darah menjadi pendar cahaya
Kita kendarai peri hidup, esok.
Berpeluh tonikum, memagari teritorial amerta
Dari rimbun belantara Sumatra ke kebun anggrek Papua
Lalu dalam getir yang sunyi,
kita langgamkan epos perjuangan
sembari mereguk tonikum darah di bawah bendera.

Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Malang