oleh Evi Susanti

Sejak kita mengenyam mendidikan PAUD hingga Pendidikan Tinggi, berbagai seremonial biasa kita lakukan pada bulan April untuk mengenang perjuangan Kartini. Kita tak luput untuk mengingat bahwa April identik dengan Kartini. Kartini adalah wanita Jawa yang pandai dan peka terhadap permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Kartini telah melalui tradisi pingitan pada usia 12 tahun, selepas mengenyam pendidikan rendah. Pingitan dalam budaya Jawa adalah masa seorang perempuan harus membekali dirinya dengan kecakapan yang diperlukan untuk memasuki masa pernikahan. Umumnya dengan membantu pekerjaan ibu, mengurus adik-adik, memasak, menjahit, atau kecakapan lain yang khas dengan lingkungan perempuan itu.

IMG20170519150737
Pada masa pingitan, anak perempuan tidak memiliki kebebasan untuk bersekolah,  beraktivitas dan bersosialisasi ke luar rumah hingga saatnya dinikahkan. Kegalauan, harapan, dan pemberontakan Kartini mengenai ketidaksetaraan tersebut diperjuangkannya melalui goresan pena kepada teman-temannya, yang saat ini kita kenal dengan kumpulan surat Kartini dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang dan berbagai kolom surat kabar kolonial Belanda saat itu. Pemikiran Kartini terus menggelora dan mempengaruhi tokoh-tokoh pejuang Indonesia setelah Kartini.
Bukan perayaan dan perlombaan keluwesan berbaju kebaya saja untuk memaknai perjuangan Kartini, mungkin lebih bijaksana jika saat ini kita belajar memahami pemikiran Kartini melalui tulisannya. Penulis tertarik pada dua tulisan Kartini dalam surat tertanggal 4 Oktober 1902 dan surat kabar Kolonial Belanda yang diterbitkan tahun 1903. “… mohon dengan sangat supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, bukanlah karena kami tidak hendak menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidup ini. Melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang datang dari kaum perempuan. Kami hendak menjadikan perempuan lebih cakap dalam menjalankan tugas besar yang diletakkan oleh Alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik umat manusia yang pertama-tama (4 Oktober 1902)” dan “Tangan ibulah yang dapat meletakkan dalam hati sanubari manusia unsur pertama kebaikan dan kejahatan yang nantinya akan sangat berarti dan berpengaruh pada kehidupan selanjutnya. Tidak begitu saja dikatakan bahwa kebaikan ataupun kejahatan itu diminumkan bersama susu ibu. Dan bagaimanakah ibu Jawa dapat mendidik anak kalau ia sendiri tidak berpendidikan?”
Penulis menangkap bahwa emansipasi wanita yang dicita-citakan Kartini bukan ingin menciptakan perempuan yang memandang dirinya sebagai makhluk mandiri yang bangga dengan kemampuannya di atas laki-laki dan tidak pula hanya sebatas pada kesetaraan gender untuk memperoleh pendidikan yang sama di luar rumah. Kartini pada saat itu telah menyadari  bahwa kodrat perempuan adalah menjadi ibu yang merupakan pusat kehidupan, gudang ilmu, “wadah” bagi akhlak mulia untuk anak-anaknya, dan secara alamiah sebagai pembentuk peradaban.
Pada rahim perempuan, benih calon manusia  diletakkan, dilindungi, dan berkembang menjadi manusia. Anak manusia yang dilahirkan sangat bergantung pada lingkungannya, terutama ibu. Ibu menjadi teladan pertama dan utama  pembentukan watak, karakter, dan sifat anak. Sungguh tepat pendapat Kartini bahwa perempuan harus diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang baik. Sejak perempuan akil balig, dia memerlukan ilmu yang cukup untuk mengekspresikan dan mengembangkan diri dengan wajar, memilih pasangan hidup, membentuk keluarga, hingga mendidik dan membesarkan anak.
Tak ada batasan bagi perempuan untuk mencari ilmu di zaman yang menuntutnya harus memiliki banyak kecakapan, baik sebagai ibu rumah tangga maupun ibu yang bekerja. Para perempuan muda yang saat ini sedang menempa dirinya dalam Kawah Candradimuka di UM adalah perempuan-perempuan yang beruntung karena dapat memperoleh pendidikan yang dulu hanya menjadi mimpi Kartini. Sudah selayaknya cita-cita Kartini Anda patri dalam jiwa bahwa perempuan harus terus belajar untuk mempersiapkan diri memenuhi kodrat alamiahnya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak dan keluarga. Selamat berjuang Kartini-Kartini muda, pada saatnya, Andalah yang akan menentukan kualitas peradaban Indonesia.
Penulis adalah dosen Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan anggota penyunting Majalah Komunikasi