oleh Amalia safitri Hidayati

317_Ilustrasi_Cerpen_2a

Matahari terkapar sepagi itu. Dihadang kerumunan kabut hingga lahirkan embun di lembar-lembar daun perdu, kelopak-kelopak kembang, serta kuncup-kuncup yang malu. Di lereng pegunungan yang landai, embun telah menguasai Mangunjiwo, mencakar langit-langit beserta matahari, serta memandikan bebatuan vulkanik yang asimetris. Kedinginan tak serta-merta memerangkapkan Mangunjiwo pada diam. Sepagi itu, orang-orang telah bergegas mengais rupiah masing-masing. Tanpa menggubris lagi keganjilan yang telah tersemat akhir-akhir ini.

Keganjilan yang mulai dirasakan sejak triwulan lalu, orang-orang menjadi mafhum pada bau tanah basah bercampur harum semerbak kantil yang kerapkali mampir. Harumnya telah menyeruak ke seluruh Mangunjiwo. Desas-desusnya terus berhembus diterpa angin, perempuan-perempuan pencari kayu bakar dan para lelaki penghimpun getah kerapkali diam-diam membicarakan perihal harum tak lazim. Lambat laun, desas-desus itu melebar ke daun telinga seluruh warga, termasuk tetua kampung Mangunjiwo.
Mendengar keganjilan gila ini, tetua kampung tak tinggal diam dan mulai ambil kuasa. Ia mengerahkan kemampuanya membaca situasi supaya menghalang para warga untuk berprasangka sendiri. Ia banyak mengindikasi bahwasanya semerbak kantil bisa jadi pertanda akan datangnya hal-hal buruk. Hal-hal yang tak boleh disepelekan, katanya. “Kita terus menghirup kantil tiap harinya. Tanpa kita tahu bahaya apa yang akan menghampiri kampung ini,” ujarnya seraya menghembuskan asap rokoknya sesekali. Sorot matanya menerawang jauh ke depan. Warga selalu tunduk kuasa dan percaya perihal apa saja pada tetua kampung. Tanpa ada kontra, mereka selalu meng-iya-kan kata-katanya.
Desas-desus itu sampai menembus ke gubuk bambuku. Lantas menggaung-gaung ke daun telingaku dan sehabis itu selalu saja kudapati kata-kata yang tak mengenakkan dari suamiku, Kang Parno. “Kalau kau masih ingin di Mangunjiwo. Buanglah semua kantil-kantilmu itu, Rum. Berhentilah percaya,” ujarnya kerap kali. Kadangkala hanya kubalas dengan gelengan kepala, kadang pula aku hanya diam tanpa menuntaskan pembicaraan. Lantas kerap kali pada puncak malam kudapati dia membuang semua kantil-kantilku yang tercecer pada kasur, dapur, lemari, kursi-kursi dan meja kayu, juga di seluruh sudut gubuk kami. Namun, aku tahu bahwasanya ketika matahari kembali menyingsing, kantil itu akan kembali tergeletak di tiap sudut rumahku. Aku selalu percaya bahwasanya ada pertautan antara aku, janinku, serta kembang-kembang itu. Maka dari itu, mereka selalu kembali pada tuannya.
“Apa kau sudah berhenti percaya?” tanyaku pada Kang Parno sembari membasahi kantil-kantil dengan air dalam baskom. Lantas ia selalu membuang muka tatkala pertanyaan itu kuulangi terus menerus. Pikiranku sedang kalut-kalutnya. Aku mulai meragukan kesetiaan Kang Parno. Ia terlalu percaya pada desas-desus, ia terlalu takut untuk mengakui usahaku. Namun penghakiman-penghakiman dari warga tak meluruhkan kepercayaanku. Sejak triwulan yang lalu aku telah banyak kehilangan. Buah hati yang kunanti-nanti sejak satu dasawarsa yang lalu telah hilang tanpa bekas. Aku percaya ini bukanlah kejadian lumrah.
“Wah, jangan-jangan janinmu dibawa hantu, Rum,”  kata-kata itu meluncur dari bibir Bi Sanah yang tinggal di samping gubukku. Awalnya aku tak mau mempercayainya. Percaya pada hal itu tentu berarti aku telah menduakan Tuhan letak segala kuasa. Namun, kata-kata itu terus menggelayuti kepalaku. Di samping isak tangisku yang tiap malam memecah keheningan, aku selalu percaya bahwa janinku bisa kembali lagi. Segala upaya telah aku tempuh, namun kepercayaan ini tak kunjung luruh. Diam-diam aku menyimak setiap perkataan Bi Sanah. Perempuan paruh baya itu selalu berhasil membuatku menuruti segala apa yang ia katakan. “Rum, bisa jadi hantu yang menculik anakmu itu tinggal di pohon kantil seberang hutan. Barangkali kau harus mengumpulkan kantil-kantilnya agar ia mau mengembalikan janin itu ke rahimmu,” katanya dengan air muka serius.
Setelah mendengar penuturan Bi Sanah, pada pagi-pagi buta disaksikan bulan yang memendar, aku bergegas melangkahkan kakiku ke seberang hutan selagi Kang Parno sedang menghimpun getah. Kaki telanjangku membalak rerumputan dan semak belukar. “Ini kesempatan yang baik. Kalau tak sesegera mungkin, bisa jadi janinku tak akan pernah kembali,” desisku dalam hati. Dengan tergopoh-gopoh, bermandi cahaya matahari yang mulai menyelinap, aku telah sampai di sana. Di hadapannya, aku tercengang dan hanya bisa menganga. “Inikah tempat hantu yang mengambil janinku itu?” Tak bisa menerimanya, aku menyemburkan sumpah serapah sembari berkacak pinggang menantang duel satu lawan satu. “Kau tak bisa mengambil janin pemberian Tuhan! Kau bukan manusia, pergilah ke neraka! Setaaaaan!” ujarku setengah berteriak menantang. Gerigiku gemetar. Aku masih mendongakkan pandanganku pada pohon kayu setinggi tiga puluh meter itu. Tanpa ba-bi-bu, hampir sebagian besar kembangnya telah masuk dalam kuasaku. Telah aku himpun dalam keranjang bambu yang kubawa dari gubuk. Tak peduli sedang kuncup atau mekar-mekanya, aku segera memasukkan sebanyak mungkin. Harumnya menyeruak, hampir ke seluruh tubuhku.
*
“Rum, tunduklah pada kuasa-Nya,” berulang kali Kang Parno menasihatiku demikian. Aku tetap keukeuh pada pendirian.
“Kau tetap saja tak mau usaha, Kang. Apa kau akan berkhianat pada usahaku? Apa sudah tak ada cinta di hatimu? Apa kau sudah tak menginginkan buah hati kita yang telah raib secara tiba-tiba?” tanpa kusadari pelupuk mataku telah basah menyelami kesedihan yang mendalam.
“Bukan perihal itu, Rum. Aku bersumpah atas Sang Maha Cinta. Cintaku tak berubah meskipun seluruh rambutku akan beruban. Perkaranya, kau tahu sendiri bahwa warga sudah tak senang. Kantil-kantil ini telah menyerbak baunya ke seluruh Mangunjiwo. Mereka takut, Rum dan kau tahu, kau sudah dijuluki Perempuan Kantil di luar sana!” mata Kang Parno nanar dan memerah. Aku bisa merasakan kegeraman lelaki paruh baya yang sudah menemaniku hampir satu dasawarsa lebih ini.
“Aku masih percaya janin itu ada, Kang,” ucapku sembari menyeka air mata.
“Bukan begini caranya. Kau telah berputus asa pada rahmat-Nya.” Kali ini nada Kang Parno kembali melembut setelah di puncak amarahnya. Ia mengelus rambutku beberapa kali. Aku didekapnya, menyelami badai air mata bersama.
Semalaman suntuk, aku dan Kang Parno hanya membisu dan menangis sebadai-badainya. Hingga esok paginya aku tak kuasa membuka kelopak mataku yang terlalu berat karena banyak menangisi kesedihan. Namun, daun telingaku sudah menangkap suara-suara ganjil di luar sana. Mataku masih berat, tetapi telingaku mendengar tetua kampung sedang berbicara lantang di luar sana diiringi sorak sorai para warga.
“Keluarlah kau perempuan kantil! Kau tak lebih dari kuntilanak desa!” kata-kata yang kudengar itu sontak membangunkan tubuhku dari dipan. Mataku membelalak, aku bergegas serampangan menuju depan gubuk. Kudapati Kang Parno terisak sambil bertekuk lutut pada warga.
“Kalian tak punya hati nurani ya?! Mengapa tega sekali mengusir kaum papa yang hendak mendapatkan anak ini?” ucapku berteriak sambil lelehan air mata mengucur deras.
“Kalau kau masih ingin kami terima, buanglah kantil-kantilmu, perempuan jalang! Kau tak sadar, bau kantilmu sudah jadi virus ketakutan di Mangunjiwo,” ucapan ini disertai sorak sorai warga. Aku tetap tak mau bertekuk lutut seperti yang Kang Parno lakukan. Itu lemah bagiku. Aku menatap mereka tajam dengan nyali yang tengah berceceran.
“Kami masih mengasihimu, Rum. Pilihlah dua kemungkinan ini. Kau pergi dari Mangunjiwo atau kami buang seluruh kantilmu,” ujar tetua kampung yang kemudian diikuti keheningan seluruh warga.
Aku tak hendak berpikir panjang. Kudapati Kang Parno tak kunjung membantu situasi. Aku melangkah menghadap muka tetua kampung.
“Aku bisa hidup tanpa Mangunjiwo,” ucapku tanpa ragu.
“Kemasi barangmu dan jauhi Mangunjiwo, Rum”. Instruksi tetua kampung itu pun langsung kuindahkan. Aku pergi dari Mangunjiwo bersama kembang-kembang kantilku. Tanpa diiringi Kang Parno yang enggan meninggalkan Mangunjiwo.
*
Mangunjiwo kembali tenteram seusai penghabisan kantil-kantil seminggu yang lalu. Tak ada lagi desas-desus yang memberangus bersama bau tak lazim. Bulan separuh kembali tertuang di langit-langit temaram bersama siulan jangkrik penuntas malam. Di puncak malam, selagi orang-orang masih menelusuri mimpi, tetua kampung sedang tak jenak tidur. Ia beberapa kali membolak-balikan badannya yang kurus kering di dipan beralaskan tikar bambu. Matanya enggan terpejam. Telinganya kembali terngiang-ngiang.
“Sri, kau dengar itu?” suaranya membangunkan istrinya yang tengah pulas di sampingnya.
“Ah, kau mengagetkanku saja. Pasti hanya ngigau. Aku tak dengar apapun,”
“Ada tangis bayi meraung-raung, Sri,” aduan itu tak ditanggapi oleh sang istri yang justru memejamkan matanya kembali. Ia menggigil ketakutan semalam suntuk.
Matahari belum sempurna beranjak, tetua kampung sudah menuntaskan sesumbar ke warga desa. Matanya merah bekas berjaga semalaman. Ia banyak bercakap tentang raungan bayi yang ia dengar di puncak-puncak malam. Setengah percaya, warga desa bergidik dibuatnya, mengingat tak ada bayi dan orang hamil  di kampung ini.
Ketakutan warga terpecah kala Bi Sanah datang sembari tengah-engah. Ia mengaku juga mendengar suara bayi itu lantas melihanya sendiri bahwa Rumy, sang perempuan kantil, telah kembali bersama janinnya.
“Aku baru saja melihatnya di pinggir sungai sedang memandikan bayinya,”
Ucapan Bi Sanah disambut bisik-bisik dari warga. Mereka setengah tak percaya pada Bi Sanah yang sudah mengidap penyakit menahun ‘setengah waras’ itu. Tapi kalau benar Bi Sanah berbohong, akankah tetua kampung juga berdusta? Tentu ini mustahil. Para warga pun berbondong-bondong melangkahkan kaki menuju sungai. Parno pun ikut dalam rombongan itu. Ia ingin menuntaskan keingintahuannya.
Lantas mereka mendapati bau kantil yang kembali menyerbak bersama seorang perempuan dan bayi merah di tangannya. Parno terbelalak dibuatnya.
“Rumy tak pernah mengandung anak,” ujar Parno memecah keheningan. Kemudian Bi Sanah berbisik pada tetua kampung, “Ada warga seberang desa yang telah kehilangan bayi.
Penulis adalah Juara harapan III Kompetisi Penulisan Cerpen Majalah Komunikasi 2017