Begitu menapak ke gedung sekolah yang asri dan sejuk di tengah-tengah Kota Batu dengan arsitektur yang menawan, sambutan ramah ditunjukkan oleh kepala sekolah yang biasa dipanggil ibu direktur Bilqis. Lika-liku kehidupannya meninggalkan jejak kesuksesan, ia berhasil merintis SD Muslim Cendekia yang hanya berawal dari bermimpi. Kepekaan dan kepedulian menjadi pijakannya untuk melangkah hingga kini.
Mahasiswa yang tengah mengerjakan disertasi sebagai syarat kelulusan S-3 Jurusan Tekhnologi Pendidikan (TEP) ini mengawali mimpi dari sekadar menuliskannya dalam selembar coret-coretan di kertas pada masa SMA. “Pada masa SMA saya menulis banyak hal, salah satunya ingin mendirikan lembaga pendidikan. Meskipun belum tahu bagaimana cara mewujudkannya, tapi saya percaya mimpi itu bagian dari doa,” kenang Bilqis. Perempuan bernama lengkap Bilqis Firyal Nabila tersebut mulai bercerita memutar waktu. Meskipun berasal dari keluarga broken home hal itu tidak menyurutkan niat Bilqis untuk mendirikan lembaga pendidikan. Menurutnya, ia bukan tergolong anak yang pandai maupun rajin, tetapi ia berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan SMP dan SMA dalam kurun waktu empat tahun, hal itu bukan karena progam akselerasi. Ia merasa bosan dan tidak nyaman berada di sekolah sehingga ia memutar otak untuk segera mengakhiri masa sekolah. Hingga pada suatu saat ia berhasil mengikuti tes kelulusan yang disediakan sekolah khusus untuk Bilqis, dan ia berhasil terlepas dari sekolah yang menurutnya bak penjara. “Semenjak itu saya memiliki dendam yang harus terbalaskan dengan cara mendirikan lembaga pendidikan yang nyaman untuk anak-anak bangsa,” kelakar Bilqis dengan penuh semangat.


Membaca beragam situasi dalam mengambil keputusan selalu ia terapkan. Sempat bekerja di SMA Katholik Cor Jesu Malang sebagai staf ahli kepala sekolah, perempuan berparas cantik ini mengambil keputusan untuk keluar dari zona nyaman meninggalkan pekerjaan yang memberikan feedback besar dan memilih untuk mewujudkan mimpinya. Tidak dengan mudah ia bisa menjadi sebesar sekarang dengan segala pencapaiannya. Di tengah keterpurukan ekonomi yang melanda, ia berjuang mendapatkan uang untuk membiayai kuliah dan bertahan hidup. “Saya harus menolong diri saya sendiri, hingga saya menjadi wisudawan terbaik bidang akademik saat S-1,” tutur Bilqis. Tidak merasa puas dengan pencapain tersebut, ia mengambil S-2 dalam jurusan yang linier dan mendapatkan beasiswa. Perjalanan Bilqis tidaklah mudah, ia sempat bekerja paruh waktu seusai kuliah dan ia berusaha memenangkan banyak perlombaan karya ilmiah hingga kelihangan banyak jam tidur. Ia sadar kerasnya hidup yang harus ia jalani, “Kalau kita nggak keras sama kehidupan, maka kehidupan yang akan keras pada kita,” tambah Bilqis sembari tersenyum.
Keheningan suasana Kota Batu dipecahkan oleh riuh gelak tawa siswa SD Muslim Cendekia, di sudut ruangan dengan suguhan teh hangat Bilqis melanjutkan ceritanya. Sebelum di Kota Batu, ia sempat mendapat tawaran untuk mendirikan sekolah di Bumiaji dan Kota Malang, tapi tidak sesuai dengan keinginan hatinya. Pada tahun 2016 ia mulai merintis SD Muslim Cendekia, menjadi single fighter merupakan semangat tersendiri untuk menyelesaikan apa yang ia mimpikan. “Saya yang mengurus segala kebutuhan bangunan, layaknya mandor saya membeli semen, pasir, batu dan lain-lain. Setelah selesai pembangunan, saya baru oprec tenaga pendidik,” tegas Bilqis.


Sempat dirundung kecemasan, Bilqis segera bangkit dari keterpurukan. Ia harus mengambil konsekuensi dari apa yang telah ia putuskan. Dukungan pihak keluarga menjadi penyemangat. Dihadapkan oleh dua pilihan menjadi dosen sesuai gelar yang ia dapat atau mendirikan lembaga pendidikan yang ia impikan, ia tetap teguh pada pendiriannya untuk meneruskan perjuangan yang sudah ia mulai. “Apa gunanya gelar dan gaji kalau nggak bermanfaat untuk orang lain,” ungkap Bilqis. Di sela-sela kecemasan Bilqis pada nasib SD Muslim Cendekia, apakah akan mendapat siswa banyak atau tidak, ia memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk membuat branding yang berbeda dari sekolah lain, karena itu akan mempengaruhi jumlah siswa yang ia dapat. Branding yang akhirnya ia angkat adalah menjadikan siswa-siswi SD Muslim Cendekia seorang muslim yang cendekia, dengan mengedepankan pendidikan akhlak. Dengan branding itu ia berhasil meyakinkan orangtua siswa untuk menyekolahkan anak mereka di SD Muslim Cendekia. Sebanyak 75 siswa yang terbagi dalam tiga kelas ia dapat di awal ajaran baru tahun 2017. Suatu pencapain yang luar biasa bagi Bilqis beserta 12 guru yang tergabung dalam SD Muslim Cendekia. Dirinya memang menyediakan tiga kelas untuk setiap tingkat dengan tujuan meningkatkan keefektifan dalam pembelajaran.


Bel istirahat berbunyi, nampak beberapa siswa menghampiri kami yang sedang berbagi cerita. “Saya bilang ke wali murid, jika menginginkan anak dengan nilai yang bagus jangan disekolahkan di sini. Kalau ingin anak yang bagus dalam akhlak dan menjadi cendekiawan muslim dengan critical thinking mari kita belajar bersama,” tegas Bilqis. Ketegasan Bilqis ini membawa kesuksesan bagi dirinya. Di usia 26 tahun ia berhasil menjadi kepala sekolah dan mempunyai 12 guru di lembaga yang ia dirikan sendiri. Bilqis pun merasa senang dengan keputusan yang ia ambil. Sekarang ia berhasil mendirikan sekolahan yang nyaman bukan hanya untuk siswa, tetapi semua yang ada di dalam lingkup sekolah bisa nyaman dan bahagia. Mengutip dari perkataan wali murid siswa SD Muslim Cendekia, “Terima kasih Bu Bilqis, sudah mendirikan SD Muslim Cendekia dan menjadi tempat ternyaman untuk anak saya”, sebuah bentuk apresiasi tersendiri untuk seorang Bilqis yang harus memulai dari nol dan berproses dengan tidak mudah.


Mandiri menjadikan dirinya tak sedikitpun berpangku tangan kepada orang lain. Kurang dalam pandangan manusia, bukan berarti tak ada karya dan asa, bagai selasar dan bambu runcing yang siap membidik cakrawala. Satu impian yang belum Bilqis raih adalah menjadi Menteri Pendidikan Indonesia. Menurutnya, pendidikan di Indonesia harus dipegang oleh mereka yang terjun langsung di dalam kelas setiap hari, bukan hanya menjadi pengamat saja.


Ia sering merenungi pelajaran hidup yang telah dapat. Baginya, tanpa tempaan proses yang ia lewati, tak akan pernah ada karya yang berhasil ia hasilkan. “Nikmati setiap proses, jangan jadi generasi strawberry, kepencet dikit sudah penyet. Ada sakit yang ditanggung ya itu dijalani saja, karena proses akan menjadi besar suatu saat nanti,” tutup Bilqis sambil menyeruput teh yang berangsur dingin. Usut punya usut, arsitektur sekolahan yang berbeda dengan sekolah pada umumnya tersebut adalah bentuk dari manipulasi bangunan yang tidak menghabiskan banyak dana. Keren, bukan? Amey