oleh Nur Irene Siswandari

Bila mendengar kata Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tentu sebagian besar orang akan berasumsi bahwa pelayanan yang diberikan tidak memuaskan. Pasien sering kali mengantri berjam-jam, petugas kesehatan kurang ramah, dan penggunaan obat dibatasi. Namun, arti dari keberadaan BPJS Kesehatan lebih dari sekadar asumsi masyarakat semata. Sebagian besar masyarakat belum mengetahui bahwa BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp9,75 triliun pada tahun 2017.


BPJS Kesehatan merupakan badan pelaksana yang menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran, baik yang dibayar oleh pribadi maupun pemerintah.

Pertanyaannya, apakah yang dibayarkan sudah sesuai dengan besarnya pelayanan yang harus diberikan BPJS? Pada tahun 2017 iuran yang didapatkan sebesar Rp74,25 triliun sedangkan jumlah klaim atau tuntutan biaya kesehatan mencapai Rp84 triliun. Jika situasi BPJS terus berlangsung demikian, bagaimana kondisi pelayanan kesehatan (yankes) dapat membaik?


Sementara itu, tuntutan biaya kesehatan (klaim) yang diterima oleh tenaga kesehatan, terutama dokter hanya sebesar Rp9.000-Rp11.000 per pasien, dokter umum non-BPJS dapat mematok tarif sebesar Rp25.000-Rp50.000. Tentu hal tersebut menjadi salah satu alasan pelayanan dokter di bawah BPJS menjadi kurang ramah.


Salah satu penyebab kerugian yang dialami BPJS adalah premi atau iuran terlalu rendah (underprice). Tarif premi yang harus dibayar oleh peserta bukan penerima upah (PBPU) untuk kelas I adalah Rp80.000, kelas II Rp63.000, dan kelas III Rp53.000 per bulan. Adapun peserta penerima upah (karyawan) untuk potongan upah 6% dari gaji dan batas atas upah 6x pendapatan tidak kena pajak berkeluarga beranak satu. Padahal dalam aturan pemerintah disebutkan bahwa peserta penerima bantuan iuran (PBI) dikenakan iuran Rp23.000 per bulan. PBPU kelas I mencapai Rp80.000, kelas II Rp53.000 (kurang Rp12.000), dan kelas III Rp25.500 (kurang Rp27.500), belum lagi kekurangan dana akibat peserta BPJS tidak rutin membayar premi. Kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa tidak perlu membayar premi bila tidak sedang sakit. Tak sedikit pula yang baru mendaftar BPJS setelah penyakit yang mereka alami menjadi lebih parah. Lalu, bagaimana BPJS dapat menutup berbagai kekurangan tersebut? BPJS memang memiliki prinsip nirlaba atau tidak memprioritaskan profit, dalam arti hanya mengambil sedikit keuntungan, sehingga tak mengherankan kalau BPJS masih sering mengalami defisit.


Saat ini solusi yang berusaha ditawarkan pemerintah untuk menutup kerugian BPJS Kesehatan dengan memberikan suntikan dana sebesar Rp4,9 triliun dari pajak rokok daerah. Namun, upaya pemerintah tersebut dianggap tidak sesuai dengan gerakan pengendalian tembakau. Keputusan tersebut tentu dapat menjadi pembenaran bahwa pajak rokok dapat menyelesaikan masalah keuangan negara. Padahal, menurut Staf Ahli Menteri bidang Hukum Kesehatan, Tritarayati, beban biaya penyakit akibat paparan asap rokok seperti jantung, ginjal, dan stroke menyedot lebih dari 70% dana yang dikelola BPJS. Belum lagi biaya kesehatan yang tidak ter-cover BPJS. Sudah dapat dilihat bahwa pajak rokok tidak hanya dapat menguntungkan, tapi juga dapat merugikan. Menurut Soewarta Kosen dari Balitbangkes Kementerian Kesehatan RI, kerugian ekonomi pada 2015 untuk biaya kesehatan sebesar Rp596,61 triliun. Sedangkan dalam laporan penelitian yang dilansir Kemenkes pada 2015 perkiraan total belanja rokok pada perokok aktif sebesar 36,3% dari total jumlah perokok aktif dikali Rp3.099.600 dari belanja rokok per kapita per bulan sebesar Rp258.500 ialah Rp208,8 triliun.


Dapat dilihat bahwa kerugian yang dialami Indonesia akibat rokok menyentuh angka Rp3 triliun lebih. Namun, masih banyak pihak yang menutup mata akan fakta ini, baik dari masyarakat maupun dari pemerintah. Menutup kerugian BPJS dengan pajak rokok daerah tentu akan terdengar sangat ironis bagi Indonesia karena bagaimanapun rokok menjadi salah satu penyebab kerugian BPJS secara tidak langsung tak dapat dipungkiri. Sebagai salah satu alternatif, selain suntikan dana dari pajak rokok, pemerintah juga perlu mempertimbangkan sokongan dana dari sektor pariwisata untuk menutup kerugian BPJS Kesehatan. Mengingat, bahwa Indonesia memiliki segudang tempat wisata yang memberikan sumbangan devisa cukup banyak bagi kas negara.


Masalah ini tentu tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah karena akar dari permasalahan ini adalah kualitas kesehatan masyarakat Indonesia yang belum dapat dikatakan bagus. Maka dari itu, untuk menyelesaikan masalah ini juga perlu kerja sama dari semua pihak, terutama masyarakat. Masyarakat dapat melakukan banyak hal untuk menentukan masa depan yankes Indonesia. Sebagai salah satu contoh, National Health System (NHS) yang merupakan badan penyelenggaran jaminan kesehatan universal di Inggris pernah mengalami defisit dan akan bangkrut, tetapi hingga kini NHS masih berjalan karena sejumlah warga menggalang aksi menuntut agar pemerintah tetap memberikan subsidi untuk memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat.


Sebagai mahasiswa, tentu kita harus memiliki pola pikir yang lebih terbuka dalam masalah ini. Ketika terjun ke masyarakat kita harus dapat mengedukasi masyarakat tentang fakta di balik situasi defisit yang dialami BPJS Kesehatan. Kita juga dapat turut mengajak masyarakat agar tertib membayar premi, karena sesuai prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) premi yang dibayarkan juga akan kembali kepada mereka ketika sakit.


Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Juara Harapan 2 Kompetisi Penulisan Opini Majalah Komunikasi