Oleh: Mochammad S

Ia masih termenung di tempatnya. Belum mau beralih. Baik dari persimpuhan itu maupun dari segala hal yang menyesaki sudut-sudut kepala. Pelataran tanean lanjhang begitu sepi dan hanya menyisakan ia seorang diri. Mematung di emperan langgar sendirian. Padahal acara rembug warga telah usai. Agaknya ia masih berunding dengan alam tentang jalan mana yang paling tepat untuk ditapaki bersama.

Andai tak kuberikan pengantar cerita, mungkin kalian akan mengira ia ketiduran. Lihat saja, mata yang memancarkan sinar kebijaksanaan itu ia pejamkan. Tentu hanya aku, ia sendiri, dan Tuhan yang mengerti bahwa sesungguhnya ia sedang menenangkan hati. Berusaha menelisik isyarat-isyarat yang keluar dari koak-koak gagak. Tidakkah serak suara yang mengisi ruang-ruang udara malam yang melipat dingin begitu meresahkan dada yang mendengar?

Dan betul saja cerita leluhur kita, bahwa gagak hitam datang ditunggangi malaikat kematian. Aku percaya ini karena pagi hari setelah kemunculan pertama kawanan gagak di kampung, puluhan sapi karap milik warga-yang sudah disiapkan untuk sayembara ditemukan tersungkur tanpa nyawa. Lapangan kampung pun diterjang airmata yang jatuh setelah sumpah serapah. Musykilnya, tak satupun yang berbekas tanda luka. Artinya kejadian itu memang sebuah malapetaka. Artinya kejadian itu memang sebuah malapetaka yang diturunkan kawanan gagak hitam. Bayanganku peristiwa itu mirip kawanan gajahnya Abrahah yang kelojotan diserang ababil surga. Tapi Madura bukan surga kan?

Sementara itu, di sebelah lapangan sawah-sawah penadah hujan kami berantakan. Tikus-tikus yang rakus menggasak tak aturan padi yang sudah menguning lalu bersembunyi di dalam tanah yang berlobang. Bau anyir yang merangseki hidung kami kemudian melaporkan bahwa ular pemburu begundal sialan itu–kami terbisasa melepas ular sawah ketika menjelang panen–telah koyak berserak di mana-mana. Naas sungguh naas, kali ini harus memanen rugi bukan padi.

Dua tragedi yang mengejutkan itu berhasil membuat gaduh seisi desa. Di warung-warung kopi para bapak tak ada habisnya menyoal kematian massal ternak yang kian waktu kian marak. Akibatnya, masing-masing tak tau lagi harus bekerja sebagai apa tanpa sapi yang biasanya dipakai membajak. Adapula yang sesumbar dengan sejuta pengandaian bilasaja sape kerah nya masih hidup, barang tentu dirinyalah yang akan menyabet hadiah sepeda motor yang dijanjikan bupati pada sayembara keraben sape. Sementara di sempadan-sempadan sungai mengalir deras isu akan datangnya wabah dari mulut kaum ibu. Mereka percaya jika bangkai ular yang tercecer di mana-mana itu akan mengundang penyakit menular. Lalu, anak-anak kecil masing-masing akan dilarang bermain tanah supaya kulitnya aman dari kuman. Dalihnya, boleh jadi kotoran kawanan gagak yang jatuh sembarangan juga membawa benih epidemi.

Tak tinggal diam, para sesepuh kami pun tanggap bereaksi. Dari pengeras-pengeras langgar tersuar pengumuman. “Bila maghrib nanti kawanan gagak hitam datang lagi, maka siapapun yang mendengar koaknya dibolehkan mengikuti rembug warga di halaman komplek tanean lanjhang keluarga Raden Ayu Ratungga!

Begitulah pemberitahuan itu menenangkan suasana. Meski bisa dibilang hanya sejenak. Sejenak sekali. Sebab di luar praduga, musyawarah penduduk kampung justru berlangsung penuh cek-cok. Parahnya, kewasisaan Raden Ayu Ratunggayang sebelumnya diandalkan sebagai alternatif peneduh situasi sama sekali tak digubris orang-orang. Seakan gelar keturunan Keraton Songenep telah pudar, tak ada wibawa di sana. Bahkan kedudukannya selaku tuan rumah juga terkesampingkan. Semua adalah warga. Begitu agaknya yang berlaku.

Tampias perak sinar rakai menerpa paras yang meneduhkan itu. Ujung kerudung merah bata yang menggantung di bawah dada terayun dimainkan angin. Mata yang lentik sempurna belum juga nampak terbuka. Adakah kebijaksanaan telah lari dari jalannya? Sekali dua kali terdengar napas yang bercampur sedikit isak. Barangkali ia masih menyesali keberadaannya selama rembug warga tadi.

 Ia yang memang hanya berbekal gelar kekeratonan sungguh tak berkutik dihadapan orang-orang. Predikat sebagai salah seorang keturunan Sri Sultan Abdurrahman justru membuat ia terpaku. Mulutnya kelu. Tak mampu berucap barang sepatah katapun. Padahal, para sesepuh desa terlanjur mengharapkan ketokohannya. Tapi ia sendiri terlampau  takut untuk bersuara. Nurani kebijaksanaannya seakan terjebak dalam kekhawatiran lahirnya petaka yang lebih menyeramkan.

Alhasil, ia hanya berani menggetar bibir saat antar warga saling menyoal ritual muangsangkal yang sudah ia godok matang-matang sebelumnya bersama para tetua.

Bagaimanapun juga desa ini perlu di rokat! Arwah-arwah leluhur perlu diberi sajjhin. Biar gagak gagak jahanam itu dienyahkan! Supaya macam-macam huru-hara tak lagi menimpa! Sebab boleh jadi semua musibah ini adalah wujud kemarahan leluhur karena kita lalai menjaga tradisi.” desak Ajunan Kanapi. Kami sering melihatnya berkesenian rakyat.

Kacau pembicaraan kemudian mendengung saling susul bak kerumunan tawon. Ada yang mendukung ada pula yang berberat hati. Pasalnya, ritual rokat memerlukan perlengkapan sesaji (sajjhin) seperti bhabhang daun (daun bawang), bherras potè (beras putih), bherras konèng (beras kuning),  jaghung (jagung), geddhang soso (gedang susu), dan roma-roma’an sè tadha’ tong-antongnga (miniatur rumah tanpa tutup keyong). Prasyarat ini tentu akan sangat menyulitkan. Sebab hasil bumi sendiri mendadak dilanda paceklik.

Ketegangan memuncak ketika Ajunan Sopingi lantang bersuara mewakili imam-imam langgar lainnya. Ah, ajunan sopingi adalah guru mengajiku.

“Pendek kata saya tak sejalan dengan apa yang ditawarkan para tetua desa. Dalam pandangan saya, bukankah tak tahu diri sekali apabila segala yang datang dari Ghustese Ngabehi kita pungkiri? Sekalipun itu berupa bencana! Hina diri ini rasanya ketika harus berpaling dari apa yang sudah ditetapkan yang Maha Kuasa. Seakan gugur sudah sifat penghambaan ini bila harus menolak sangkal yang (bila dipikir) juga terjadi di atas kehendaknya. Bukankah begitu saudaraku?

Seingatku ia mengatakan itu. Detik belum berganti ketika keruh suara lain sontak menimpali.

“Boleh jadi kau berkata begitu sebab petaka ini belum sampai ke rumah mu. Apa kau sudah merasakan pahitnya merugi? gagal panen?

“Memang situ punya sawah?” celetuk yang lain diiringi becek tawa ejek yang lain-lain.

“Bukan maksud hati untuk tidak turut prihatin dengan situasi ini. Namun yang Saya khawatirkan adalah kemungkinan akan datangnya huru-hara yang lebih mengerikan yang justru lahir dari rokat desa. Sebab bila terpaksa melakukan ritual, adanya sesaji itu hanya akan berujung pada kemubadiran bukan? Sedangkan mubadir sendiri adalah perilaku setan yang nyata lebih jahanam ketimbang sekadar gagak hitam. Akan lebih baik lagi jika kita mampu berlapang dada akan semua yang sudah terjadi. Saya yakin, bilamana kita mampu ridlo atas rentetan malapetaka ini insyaallah hari esok tak kan ada lagi huru-hara,Ajunan Sopingi menyudahi perkataannya. Ini lengkap, sebab aku mencatatnya biar tak lupa.

Mendengar pendapat yang lebih terkesan menggurui itu, kurasa telinga Ajunan Kanapi memerah seketika. Seperti ada tangan gaib yang menjewernya kuat-kuat. Dan sepertinya tokoh lain dari kalangan seniman rakyat juga akan begitu. Tausiah itu seakan memorak-porandakan pondasi tradisi yang selama ini mereka pertahankan. Maka tanpa seucap kata lagi mereka bergegas angkat kaki-sambil sebisa mungkin tak memperlihatkan muka merah padam. Tentu hanya aku dan Tuhan yang menyaksikan kegeramannya meluap-luap.

Mereka pergi tapi tak membawa suasana dingin dan  hening yang berselimut cekamnya malam. Tapi, sebelum benar-benar menghilang dilahap gelap, Terdengar seruan dari kejauhan “Lihat saja kalian! Bila ujungnya muangsangkal urung dilakukan, aku jamin akan ada yang lebih menyala ketimbang bara di dada kami saat ini,

Koak gagak yang sedari tadi tak terdengar tetiba menyeruak dari setiap penjuru. Seolah serempak mengamini ancaman yang baru saja terlempar. Angin malam yang semakin larut menegangkan raut-raut yang tersisa di halaman tanean lanjhang. Muka kami saling tatap. Berusaha meneguhkan hati sendiri dari sekelebat bayang yang melintas-beserta kengerian petaka yang sedang bersembunyi dibalik mentari pagi.

“Ini malam ketiga bukan?” Dengan suara sangat berat salah seorang di antara kami memberanikan diri memecah kesenyapan, meski kalimat itu keluar dari bibir yang gemetar. Entah siapa yang diajak bicara. Barangkali dirinya sendiri.

Kau kenapa?” Perempuan yang duduk di sebelahnya justru mengembalikan tanya. Perempuan itu mungkin istrinya. Sebab setelah itu aku mengupingi mereka.

Kemari, peluk relungku! Sudahkah kau tangkap firasat kematian manusia di sana? Semua detak jantung tak ada yang mau menipu, kau pasti sudah tahu, balas Sang Suami yang kini sudah memeluk istri terkasihnya itu.

Dekapan sepasang jiwa itu baru terlepas saat keduanya saksikan Raden Ayu Ratungga memisahkan diri dari barisan para tetua. Sosok yang masih jadi panutan itu–biarpun perempuan–melangkah mundur. Tak hendak membalik badannya yang semampai. Seperti itulah budi pekerti yang masih mengendap di darah biru keturunan keraton. Kesantunan dalam bertindak menghargai tamu sungguh tak ada duanya. Den Ayu kemudian bersimpuh di pelataran langgar. Seolah menyilahkan pada  siapapun yang memerhatikan untuk menyudahi rembugan. Dan seperti lazimnya, keluarnya tuan rumah dari perkumpulan juga berarti penyilahan menuju dapur, menikmati jamuan.

Tak berselang lama majelis pun dibubarkan oleh para sesepuh. Namun dewan kehormatan itu tetap saja belum mampu membubarkan kekhawatiran yang melingkari purnama rembulan. Apalagi mengatasi malapetaka yang dirasa telah menuju desa.

Dengan langkah setenang tanah Ajunan Sopingi justru berjalan menerjang arah. Ajunan tak hendak ke dapur, ia ingin menghampiri Den Ayu. Menyampaikan sebisik kata mewakili kami.

“Nanti subuh kami akan kemari lagi Den. Masing-masing kami sepakat guna menanti keputusan Den Ratungga. Sebab bagaimanapun juga, hanya jalan yang dipilih keluarga ini yang mampu ditapaki seluruh masyarakat desa. Bukan jalan pilihan Si Sopingi ini, begitulah Sang Ajunan bertutur dengan lirih. Lalu beranjak pulang bersama warga lain tanpa menunggu balasan Den Ayu.

Kokok bekisar jantan saling bersahutan meriuhkan kandang. Pecah sudah keheningan yang sebelumnya membungkus erat komplek tanean lanjhang. Sementara di kejauhan, fajar perlahan mulai merekah di atas ufuk timur. Semburat tipis sinarnya mengabarkan salam damai pada rakai yang beranjak pergi. Namun di sana, di emperan langgar keluarga, ia belum juga membuka matanya. Secelah pun tidak. Rupanya sanubari itu masih belum bisa bebas dari jeratan pengharapan warga desa pada keputusannya. Kebergantungan yang berlebihan seringkali menumbuhkan kebimbangan untuk bertindak dalam benak seseorang.

Dalam-dalam ia hirup segala harap yang mampu ia panjatkan kepada Ghuste se Kobasa. Dengan segenap jiwa ia memohon kiranya yang kuasa menghamparkan sebuah jalan lebar yang cukup untuk dipijaki seluruh warga. Segala sifat penghambaan telah ia tanahkan pada bumi Songenep yang membesarkannya. Semoga tak sampai setetes pun darah saudaranya yang merubah warna tanah jadi merah.

Tetiba usai hembusan ketujuh, napasnya menjadi memburu. Air mukanya mengkilap dimandikan keringat. Tubuh yang bersimpuh itu gemetar lalu bergoyang kiri-kanan dengan sendirinya. Kesadaran raga dan rasa miliknya bagaikan telah tersadur sepenuhnya. Interaksi yang ia jalin dengan Ghuste Pangeran sedari tadi seakan telah menemukan jalan terang.

Usai menunaikan sembayang subuh, warga desa yang dipimpin Ajunan Sopingi kembali menuju halaman tanean Den Ayu Ratungga. Menepati janji. Tanpa diduga, hal senada juga dilakukan para pengikut Ajunan Kanapi. Namun masyarakat adat–begitulah sebutan yang Ajunan Kanapi berikan untuk pengikutnya–kali ini tak hanya bertangan kosong. Sebab masing-masing sudah membawa sajjhin untuk melakukan rokat desa dan nyala obor untuk “berjaga-jaga”. Dua kubu yang bisa dibilang diam-diam berseteru itu sama-sama menginginkan keputusan panutannya. Persis seperti dua jalan berbeda yang akan berujung pada tujuan yang sama.

Semua pasang mata tercengang ketika sampai di kompleks tanean lanjhang. Tentu tidak halnya dengan Aku dan Tuhan. Disinari keremangan fajar, mereka dapati berpuluh-puluh gagak hitam terkelepar di halaman. Bangkai-bangkai itu membentuk lingkaran dengan Den Ayu Ratungga sebagai pusatnya. Pembawa sangkal itu melesat di awang-awang dari arah entah lalu terpental dengan aneh ketika hendak melintasi Den Ratungga. Sedangkan Den Ayu sendiri seakan tak terusik akan hal itu. Ia hanya bersimpuh di emperan langgar dengan mata terpejam. Sekali waktu dengan aura ketenangan yang terpancar, ia akan bergerak naik dari tanah sampai pada posisi setengah berdiri. Lalu perlahan tangan kirinya ia ditengadahkan.

Telapak itu ia cekungkan sehingga nampak seperti cemong. Isyarat meminta limpahan petunjuk kepada “yang di atas”. Sementara lengan kananya ia sikukan di depan dada. Bagai menopang rahmat yang diturukan pada lengan kiri lalu memasukkannya kehati. Sebelum ia kembali duduk,  ia akan memutar badan terlebih dulu. Seakan menaburkan kedamaian yang telah ia terima pada orang-orang sekitarnya. Semua geraknya begitu terlihat meneduhkan kerisauan yang bersarang di dada para warga. Sehingga satu-persatu tergerak menirukan. Seolah ada anjuran gaib yang terbisik di telinga mereka. Baik dari kalangan masyarakat adat maupun para imam langgar semua serempak menyertai peragaan Den Ayu. Sayup-sayup tergema sebuah mantra yang ternyata juga bermula dari bibir Sang Panutan. Edina seroteka mostakem, edina, edina.

Mentari berarak di cakrawala. Menerangi jalan baru yang terhampar di bawahnya. Tak ada satu pun sangkal atau gagak hitam yang bersembunyi di sebaliknya. Sebab sampai mentari itu tergelincir dari garis tengah langit tak terdengar satupun kabar duka yang masuk telinga warga. Prasangka kematian manusia seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, agaknya lebih dulu dibunuh romantisme persaudaraan yang baru saja terbangun dengan utuh.

Ajunan Sopingi sempat memnggumam pada diri sendiri tatkala  larut dalam khusyuknya suasana ritual jiwa-jiwa yang mendekat pada Yang Maha Esa “Mungkin inilah jalan itu”

“Muangsangkal pilihan Den Ayu memang tak akan keliru, gumam Ajunan Kanapi di lain sisi. Juga pada dirinya sendiri.

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Geografi dan Juara Harapan 2 Penulisan Cerpen Majalah Komunikasi

Istilah-istilah

Tanean lanjhang: rumah adat sumenep

Sape kerab: sapi balap

Keraben sape: balapan sapi

Rokat: ruwat atau bersih desa

Ghuste se Ngabehi: tuhan yang maha memiliki segalanya

Ghuste se Kobasa: tuhan yang maha kuasa

keraton songenep: keraton sumenep

cemong: mangkok dari kuningan

muangsangkal: menolak balak atau membuang petaka- yang juga bermakna tarian daerah sumenep.

Edina seroteka mostakem, edina, edina: berilah kami petunjuk dijalanmu yang lurus, berilah kami petunjuk, berilah kami petunjuk.  (ihdina asshirotoka al-mustakim ihdina, ihdina)

Mochammad Syaifulloh.

Mahasiswa Geografi Universitas Negeri Malang Penulis bergiat di komunitas Serikat Penalaran Dan Sastra Ilmu SosialFakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang.