oleh Nuruddin Zanky

Waktu terus berjalan dan dunia terus berputar. Langkah kita tidak bisa berhenti, apa lagi berbalik ke belakang. “Langkahkan kaki terus ke depan!” Sepertinya kalimat itu patut disampaikan untuk membuka salam redaksi pada kesempatan kali ini.

Seluruh sendi kehidupan saat ini sedang mendapat ujian dengan adanya Covid-19. Keberadaannya bukan menghentikan rotasi kehidupan, tetapi memaksa adanya perubahan tatanan: kesehatan, ekonomi, sosial budaya, tidak terkecuali pendidikan. Perubahan merupakan kata kunci dalam kondisi seperti ini. Perubahan dari pembelajaran berbasis kelas menjadi pembelajaran berbasis digital merupakan salah satu bentuk perubahan yang tampak dalam dunia pendidikan. Di tengah segala keterbatasan yang ada, pendidikan tetap harus berjalan. Saat ini bermunculan berbagai macam aplikasi pembelajaran, kursus, maupun seminar online untuk membantu berjalannya proses pendidikan di masa pandemi ini.

Model belajar boleh berubah, tetapi hakikat pendidikan tidak boleh berubah. Tujuan pendidikan adalah menciptakan manusia seutuhnya. Manusia yang memiliki hubungan yang harmonis dengan sesama manusia dan lingkungannya serta manusia yang memiliki hubungan yang baik dengan Sang Pencipta. Oleh karenanya, pendidikan harus diarahkan pada dua dimensi, yaitu dimensi dialektika horizontal dan ketundukan vertikal. Dimensi yang pertama membentuk manusia yang peka serta mampu mengatasi masalah-masalah sosial dengan ilmu pengetahuan. Dimensi yang kedua menyadarkan manusia bahwa apa pun yang terjadi di dunia ini tidak serta merta terjadi begitu saja, tetapi ada Sang Pencipta yang mengaturnya. Singkat kata, pendidikan seutuhnya adalah pendidikan pikir dan hati, sehingga lahirlah manusia yang berjalan seimbang antara pikir dan zikir.

Tidak terdapat formulasi paten untuk mengembangkan manusia dalam dunia pendidikan. Dalam era pandemi ini implementasi pembelajaran digital di berbagai lembaga pendidikan juga berbeda-beda. Beberapa komponen seperti kemampuan sumber daya manusia (SDM), keberadaan teknologi: hardware maupun software, biaya atas teknologi, sampai permasalahan regulasi menyebabkan implementasi pendidikan yang berbedabeda. Akhirnya, setiap lembaga pendidikan harus mencari jati dirinya sampai menemukan formulasi yang hari ini dianggap paling tepat untuk lembaga masing-masing. Namun, bisa jadi besok akan berubah lagi. Sepertinya, ungkapan Renald Kasali benar adanya, “Tak peduli berapa jauh jalan salah yang anda jalani, putar arah sekarang juga.”

Terdapat tiga ranah yang dikembangkan dalam dunia pendidikan, yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor (keterampilan). Kemampuan terhadap tiga ranah tersebut disebut sebagai kompetensi. Siswa yang kompeten adalah siswa telah memiliki tiga ranah tersebut dalam mempelajari suatu ilmu pengetahuan. Dalam kondisi yang serba terbatas ini kita tidak boleh hanya mengembangkan kemampuan siswa secara parsial. Apa pun alasannya, siswa memiliki hak untuk menjadi manusia seutuhnya dengan menguasai tiga ranah di atas.

Hal yang perlu kita renungkan, sudahkah pembelajaran daring kita selama ini sudah menyentuh dimensi dialektika horzontal yang utuh? Sudah pembelajaran daring kita selama ini sudah menyentuh dimensi vertikal? Sudahkah kita membangunkan jembatan siswa untuk mencapai tujuan hidupnya? Sudahkah pembelajaran daring kita selama ini menyentuh tiga ranah dalam pendidikan? Jika pembelajaran yang kita lakukan selama ini masih secara parsial, sudahkah kita memenuhi hak siswa untuk menjadi manusia yang utuh?

Rumah kita, Universitas Negeri Malang (UM), saat ini telah bekerja keras untuk mengatasi segala keterbatasan dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Mari kita bantu setiap upaya yang dilakukan UM untuk membangun jembatan terbaik demi kelangsungan kehidupan akademik di kampus kita. Upaya tersebut bukan hanya untuk UM, tapi juga untuk generasi emas penerus bangsa dan sebagai wujud syukur atas pemberian Tuhan kepada kita. Jaya UM, jaya Indonesia!

Penulis adalah dosen Jurusan Akuntansi dan Anggota Penyunting majalah Komunikasi UM